Perjuangan Indonesia Hingga Terbentuk Bhinneka Tunggal Ika

perjuangan indonesia

Bhinneka Tunggal Ika pertama kali muncul dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14, di masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Pada saat itu, Indonesia belum berbentuk negara seperti sekarang, melainkan kumpulan kerajaan-kerajaan dengan budaya dan agama yang berbeda.
Frasa ini digunakan untuk mengajak penganut Hindu dan Buddha hidup damai dalam satu kesatuan.

Meskipun kerajaan-kerajaan di Nusantara mengalami pasang surut, semangat persatuan dalam keberagaman tetap terjaga melalui interaksi perdagangan, perkawinan antar suku, dan pengaruh budaya.

Perjuangan di Era Penjajahan

1. Masa Kolonial dan Perpecahan

Ketika bangsa Eropa datang dan menjajah Nusantara, mereka menerapkan politik devide et impera (politik pecah belah). Perbedaan suku, agama, dan wilayah dimanfaatkan untuk melemahkan persatuan.

2. Kebangkitan Nasional

Awal abad ke-20 menjadi titik penting. Organisasi seperti Budi Utomo (1908) dan Sarekat Islam (1911) mulai menumbuhkan kesadaran nasional. Perbedaan latar belakang tidak lagi menjadi penghalang, melainkan kekuatan untuk melawan penjajah.

Peran Bhinneka Tunggal Ika di Masa Perjuangan Kemerdekaan

1. Sumpah Pemuda 1928

Sumpah Pemuda menjadi momentum besar persatuan. Para pemuda dari berbagai daerah mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Semangat yang sama dengan Bhinneka Tunggal Ika semakin terasa.

2. Proklamasi 1945

Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia memerlukan simbol yang dapat menyatukan semua golongan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika kemudian dipilih sebagai semboyan negara yang diabadikan di lambang Garuda Pancasila.

Makna Bhinneka Tunggal Ika dalam Konteks Modern

Globalisasi membawa arus budaya, teknologi, dan ideologi dari luar. Bhinneka Tunggal Ika berperan sebagai pengingat bahwa keberagaman lokal adalah identitas yang harus dijaga.

Indonesia adalah rumah bagi enam agama resmi dan ratusan kepercayaan lokal. Semboyan ini menjadi pegangan untuk mencegah perpecahan akibat perbedaan keyakinan.

Meskipun sudah mendarah daging, semboyan ini tetap menghadapi tantangan seperti intoleransi, ujaran kebencian di media sosial, dan konflik horizontal.
Upaya mempertahankannya memerlukan peran aktif pemerintah, tokoh masyarakat, pendidik, hingga generasi muda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *